Kamis, 26 Januari 2012

Aisyah bintu Abu Bakr Belahan Jiwa Rasulullah

Penulis: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

 Dialah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdillah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay al-Qurasyiyyah at-Taimiyyah al-Makkiyyah x. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al-Humaira’. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin ‘Abdi Syams bin ‘Attab bin Udzainah al-Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiallaahu ‘anhu.
Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan RasulullahRasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.
Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam menjemputnya –tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr – untuk memasuki rumah tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun di antara istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha.
Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.
Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.
Allah ‘azza wa jalla memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallammenyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini. Siapa pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam berada di tempat ‘Aisyah. Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallamagar mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah, hendaknya memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.
Ummu Salamah Radhialaahu ‘anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah Radhiallaahu ‘anha mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali ‘Aisyah.”
Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah ‘azza wa jala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma’, kakaknya.
Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu’. Tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Shallaahu ‘alaihi wa sallam menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.
Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair z mengatakan kepada ‘Aisyah, “Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin.”
Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah ‘azza wa jalla menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. ‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.
Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’atthal Radhialaahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’1 dan ‘Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah Radhialaahu ‘anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan rombongan.
Kaum munafikin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, sedang ‘Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.
Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah. ‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.
Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini belum juga turun sehingga Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dalam urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.
Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayatnya yang membebaskan ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah ‘azza wa jalla dari atas langit.
Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat an-Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.
Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah ‘azza wa jalla. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallamwafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha.
Sepeninggal beliau, ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.
Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid2 atas seluruh makanan.” Bahkan Jibril  menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam.
Tiba waktunya ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriah dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya, keharumannya namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. 
Sumber bacaan:
1. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim Al-Imam an-Nawawi
3. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah Al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani
4. Siyar A’lamin Nubala’ Al-Imam adz-Dzahabi
5. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah asy-Syaikh Ibrahim al-’Aly
Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar