Kamis, 26 Januari 2012

Kalau Demikian Kenapa Harus CERAI?!!!

Sepasang suami istri sepakat untuk menjalani proses perceraian. Sang suami berkata, “Rumah untuk kamu, karena kamu yatim tidak punya bapak dan ibu. Sedangkan saudara-saudaramu sudah menikah, sehingga akan sulit untuk hidup bersama mereka. Rumah untuk kamu dan aku akan hidup bersama saudaraku.
Sang istri menjawab, “Tidak, rumah untuk kamu. Kamu sangat capai untuk membangunnya. Aku akan berusaha untuk melakukan aktifitas bersama istri saudaraku dan hidup bersamanya”.
Suami menjawab, “ kalau begitu ambil perabotannya.”
Istri berkata, “Tidak, kamu lebih membutuhkannya daripada diriku. Rumah saudaraku sudah lengkap.”
Suaminya menjawab, “Kalau demikian terimalah uang ini”.
Si istri menolak, “Aku punya pekerjaan yang masuk akal. Aku tidak butuh kepada harta. Kamu lebih membutuhkannya”.
Ketika sang istri menyiapkan tasnya untuk meninggalkan rumah, tiba-tiba suami mengaduh dengan penuh sesalnya; dan bertanya kepadanya, “kalau demikian kenapa harus cerai?! Karena tidak ada kecocokan?! Karena aku tidak bisa memahamimu dan kamu tidak bisa memahamiku?! Perkataan macam apa ini?!!
Apakah tidak cukup bagi suami istri, bahwa masing-masing sangat perhatian terhadap kamaslahatan yang lainnya?!
Apakah harus dengan kecintaan yang sangat dan kecocokan yang sempurna?!
Apakah dengan terjadinya beberapa perselisihan di antara kita berarti kegagalan bagi hubunngan kita?!
Bagaimana dikatakan gagal, padahal masing-masing kita senang untuk memuliakan pasangan hidupnya dan lebih mengutamakannya daripada dirinya sendiri?!
Bukankah timbal balik dalam memuliakan itu lebih penting daripada cinta yang bergelora?!”
Sang istri tidak berkata sepatah pun…Dan tidak terjadi perceraian…Keduanya masih menjadi sepasang suami istri hingga sekarang…
Kisah yang mengesankan ini menjelaskan sejauh mana permenungan, kelembutan dan tidak tergesa-gesa bisa menjadi sebab langgengnya ikatan perkawinan antara suami istri yang masing-masing berpikir bahwa pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya jauh dari pasangannya. Tatkala salah satunya membuka hati untuk pasangannya, ternyata jarakny dekat sekali.
Bertanyalah pada diri kita; apakah kita telah menggunakan cara ini sebagai metode dalam rumah tangga kita?! Banyak merenung ketika terjadi masalah, membuka hati untuk bisa menguasainya dan bersikap lapang dada untuk mengobatinya.
Kalau kita laksanakan masalah ini, niscaya akan hancur banyak masalah dan akan datang setelahnya kemesraan dan kebahagiaan.
Sumber: dikutip dari buku “HARMONIS Idaman Setiap Keluarga & Tips Meredam Perselisihan”, Penulis Asy-Syaikh Salim Al-’Ajmi, DR. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Penerjemah Abu Nizar Arif Mufid. MF., Abu Muqbil Akhmad Yuswaji, Penerjemah: Pustaka Salafiyah

Sudah Seminggu tidak Bertegur Sapa dengan Istri

Oleh Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh
Ustadz Abu Muhammad Hafizhokumulloh, Mohon nasihat, ada ikhwan yang baru nikah 3 bulan, sekarang ia tidak bertegur sapa dengan istrinya sudah seminggu. Permasalahan yang disampaikan dari Istrinya kepada istri ana, karena masakannya nggak enak. Sehingga ikhwan ini kelihatan malas dan beberapa jadwal ta’lim pun tidak menghadirinya. Jazaakumullohu khoiron katsiro.

Jawab:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Al-Akh Fulan (nama samaran) -semoga selalu dalam bimbingan dan cahaya-Nya-, ada beberapa hal yang mungkin kita saling bernasehat dengannya:
Pertama, Masalah yang terjadi antara sepasang suami-istri kadang tergolong masalah riskan yang kita harus berhati-hati dalam menyikapinya. Karena kalau kita salah dalam memberi solusi atau dalam menyampaikannya maka kadang akan membuat jalinan benang semakin kusut.
Dua, Tidak semua masalah yang kita dengar pasangan suami-istri harus kita tanggapi. Bahkan seharusnya, ana menyarankan sang istri untuk lebih banyak bersabar. Memang demikian liku-liku berumah tangga, dan perahu tidak selamanya berlayar di atas samudra yang tenang tanpa ada ombak maupun badai.
Tiga, Yang banyak memicu terjadinya masalah dalam rumah tangga adalah sikap merasa sempurna dan tidak ada kekurangan. Padahal semua manusia ada kekurangan, karena itu butuh saling pengertian dan kedewasaan dalam memahami, memperbaiki dan menyempurkan kekurangan pasangan hidup yang Allah telah pilih untuk kita. Allah telah mengingatkan,
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya manusia itu seperti seratus onta. Hampir seseorang tidak menemukan tunggangan yang cocok darinya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Dari keindahan fiqih Imam Muslim, beliau membawakan riwayat di atas pada akhir bab keutamaan para shohabat. Beliau ingin menjelaskan bahwa manusia itu punya kelebihan masing-masing dan ada kekurangan.
Empat, Masalah sang suami jarang taklim tidak boleh dikaitkan dengan masalah keluarganya. Kalau kita melihat saudara kita jarang menghadiri taklim, maka hendaknya kita menasehatinya dengan cara yang baik dan wejangan yang membawa manfaat untuknya. Wallahu A’lam.
Sumber : dikirim via email (milis Nashihah) oleh Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi)

Krisis Perkawinan

Oleh Abu Muhammad Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

 Assalamu’alaikum ya ustadz, Mohon bimbingannya, ustadz.  Saya sedang mengalami ‘krisis’ perkawinan. Sebenarnya tidak ada masalah di antara saya dan pasangan. Tapi…kadang saya merasa jenuh dengan pernikahan kami. Hingga suatu saat saya bertemu dengan teman lama saya. Kami sering bincang2 memakai segala fasilitas teknologi yg ada sekarang ini. Sebenarnya tidak ada apa2 diantara kami (saya dan teman saya itu). Karena diapun sudah berkeluarga, seperti saya.  Tapi pada akhirnya, kadang, terselip juga rasa “yang lain”  terhadapnya.
Saya tidak mau menghianati suami saya, juga tidak ingin meninggalkannya. Tapi saya juga suka dengan teman saya itu (diapun sedang mengalami krisis perkawinan, seperti saya. Dan merasakan hal yg sama dengan yg saya rasakan)
Tapi kami menyadari, bahwa tidak mungkin akan melangkah lebih jauh, karena kondisi masing2 yg sudah sama2 mempunyai pasangan.  Akhirnya ya hanya sekedar berteman, tapi mungkin lebih dari sekedar teman.  Bagaimana dengan “rasa” yg tumbuh di hati ini, ustadz? Bukankah dia datang sendiri?
Apa tidak boleh, seseorang yg sudah menikah, mencintai orang lain, sebagai sesama saudara, berkasih sayang karena Alloh? Bagaimana makna “mencintai karena Alloh”, untuk 2 orang yg berlainan jenis, tapi bukan mahram?

Mohon pencerahannya, ustadz. Tapi rasanya saya belum bisa meninggalkannya. Kami hanya merasakan, hubungan diantara kami adalah hubungan saudara (dia menganggap saya adiknya, dan sayapun menganggapnya sebagai kakak saja).
Sekian saja ustadz, jawaban dan bimbingan ustadz sangat saya harapkan.
Jazakallahu khoiron katsiiron
Wassalamu’alaikum
Ummu Fulanah
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti fillah, ketahuilah bahwa pernikahan adalah mahkota kehormatan dan mahligai kesucian dari seorang perempuan. Dan itu adalah salah satu nikmat Allah patut untuk disyukuri sehingga kita bertambah anugerah dan tertolak dari kejelekan dan bencana.
Adanya kejenuhan dalam pernikahan adalah perkara yang lumrah dan banyak menimpa manusia. Namun dalam kejenuhan tersebut janganlah seseorang menjadi mangsa syaithon dalam menjerumuskannya dalam lembah kehinaan dan kenistaan.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan,
Setiap amalan ada semangat padanya, dan dibelakangan setiap setiap semangat ada kejenuhan padanya. Siapa yang kejenuhannya kepada sunnahku maka dia telah mendapat petunjuk. Siapa yang kejenuhannya kepada selain itu maka sunggu dia telah binasa.”
(Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu anhuma.)
Hadits di atas berlaku umum untuk pernikahan maupun seluruh amalan lainnya.
Maksudnya, bila seorang jenuh -dalam pernikahan misalnya-, maka hendaknya ia melihat bagaimana tuntunan agama dalam menghilangkan hal tersebut, dan bagaimana menumbuhkan semangatnya serta mengarahkannya kepada hal yang baik, misalnya mungkin saya ada kekurangan dalam menunaikan hak suami, atau sebagai istri masih banyak hal belum saya jalankan dan seterusnya.
Dan apa yang ukhti sebutkan adalah merupakan kejenuhan yang bukan kepada sunnah Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Syaithon memang pandai dalam menjerat anak manusia. Tadi ukhti hanya memandangnya sebagai teman bisa, kemudian terselip ‘perasaan lain’, Kemudian hanya dianggap sebatas saudara…. dan ukhti belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Syaithon berikutnya sehingga berhasil menjerumuskan hamba kepada dosa yang lebih besar dari itu.
Dan ingatlah bahwa penyesalan itu datangnya belakangan, saat tidak arti sebuah penyesalan terhadap amalan yang telah menodai kesucian dan kebaikan ukhti. Dan di hari kiamat…hari perhitungan, hari mempertanggung jawabkan seluruh amalan.
Karena itu, nasehat ana :
Satu : Bertakwalah kepada Allah pada segala keadaan.
Dua : Ketahuilah bahwa dosa membawa berbagai kepedihan dan kepiluan bagi seorang hamba.
Tiga : Saya yakin bila apa yang terjadi pada ukhti terjadi pada suami ukhti sehingga dia juga punya “perasaan” kepada perempuan lain, tentu ukhti sangat tidak menerimanya dan merasa sangat dikhianati.
Empat : Sewajibnya, untuk tidak berhubungan dengan “orang lain itu” dan memutuskan segala ketarkaitan dengannya. Dan jangan membuka pintu bagi syaithon.
Lima : Ridho dan syukuri nikmat pernikahan yang Allah berikan kepada ukhti niscaya Allah akan menambah kenikmatan itu.
Wallahu A’lam
Sumber : dikirim via email (milis Nashihah) oleh Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi)

Keutamaan Mendidik Anak

Terkadang Allah menguji manusia setelah ia memiliki banyak anak, yaitu banyaknya anak perempuan. Maka wajib baginya untuk bersabar dan ridha terhadap apa yang telah Allah taqdirkan baginya. Dan janganlah ia menolak qadha’ Allah tersebut. Karena di dalam sabar dan keridhaannya terdapat pahala yang besar.
Akan tetapi kenyataannya kita melihat kebayakan manusia menyikapi ujian tersebut dengan tidak sabar dan marah terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan. Maka di sini kami bawakan beberapa hadits tentang keutamaan mendidik anak perempuan, dengan harapan semoga bisa mengubah keadaan sebagian orang dan mengingatkan yang lupa atau membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu. Wabillahi taufiq.
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang memiliki anak tiga anak perempuan, lalu ia sabar atasnya, ia member makan mereka, member minum mereka dan member pakaian mereka dari kemampuannya, maka mereka (anak-anak perempuan) itu kelak menjadi pelindung baginya dari api neraka pada hari kiamat.”
(Hadits shahih, dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah (294) dan beliau menisbatkannya kepada Imam Ibnu Majah (3669) dan kepada Imam Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrad (296) dan beliau menyadur dari Imam Al-Bushiri dalam menshahihkannya.
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang menanggung/memelihara dua anak perempuannya, atau tiga anak perempuannya, atau dua anak saudarinya, atau tiga saudarinya hingga mereka meninggal (dan di dalam sebuah riwayat disebutkan: hingga mereka menikah, dan di dalam sebuah riwayat lain: hingga mereka balighah) atau hingga ia mati meninggalkan mereka, maka aku dan ia kelak seperti ini” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan dua jarinya; telunjuk dan tengah” (HAdits shahih sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah (296) dan beliau nisbatkan kepada Imam Ahmad (3/147 – 148), Imam Ibnu Hibban (2045) dan Imam Thabrani di dalam Al-Ausath. Dan beliau menyatakan: Sesungguhnya hadits ini memenuhi persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa memiliki anak tiga anak perempuan, atau tiga saudari, dan ia bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan tanggung jawabnya atas mereka, maka kelak ia bersamaku di Jannah”. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan jari telunjuknya dan jari tengahnya. (Dikeluarkan oleh oleh Imam Abu Ya’la dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani did ala Ash-Shahihah (295).

Hendaklah saudara pembaca yang mulia mengetahui bahwa benci (marah) karena mendapat anak perempuan adalah merupakan akhlak jahiliyah yang Allah Ta’ala mencela pelakunya:




Sebagaimana di dalam firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58 – 59)

Juga firman Allah Ta’ala:

“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan marah.” (az-Zukhruf: 17
Sedangkan Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat yang kerajaan segala sesuatu ada pada-Nya juga befirman:
°
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura:49 – 50)

Maka waspadalah wahai saudaraku! Jangan sampai anda menjadi termasuk di antara orang-orang yang jahil yang murka terhadap taqdir Allah.

Dikutip dari buku” Menyambut Si Buah Hati: Salim Rasyid Asy-Syibli, Muhammad Khalifah Muhammad Rabaah, Penulis; Abu Yahya Muslim, Penerjemah; Tim Ash-Shaf Media”

Tanggung Jawabmu di Rumah Suamimu

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

 Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari,sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?
Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam  rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!
Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang?
Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan pendapatan bagi negara.
Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ
عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ
زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka.
Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya.
(Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)
Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala Negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga
syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum. Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan pengaturannya terhadap harta tuannya.” (Al-Ikmal, 6/230)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Setiap ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.
Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang
semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:
مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ
“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas )
Dan juga hadits:
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)
Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya
dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=625

32 Cara Berbakti kepada Orangtua

Oleh: Asy Syaikh Muhammad Jamil Zainu

 1. Berbicaralah kamu kepada kedua orang tuamu dengan adab dan janganlah mengucapkan “Ah” kepada mereka, jangan hardik mereka, berucaplah kepada mereka dengan ucapan yang mulia.
2. Selalu taati mereka berdua di dalam perkara selain maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada sang Khalik.
3. Lemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, janganlah bermuka masam serta memandang mereka dengan pandangan yang sinis.
4. Jagalah nama baik, kemuliaan, serta harta mereka. Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizin mereka.
5. Kerjakanlah perkara-perkara yang dapat meringankan beban mereka meskipun tanpa diperintah. Seperti melayani mereka, belanja ke warung, dan pekerjaan rumah lainnya, serta bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu.
6. Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam seluruh kegiatanmu. Dan berikanlah alasan jika engkau terpaksa menyelisihi pendapat mereka.
7. Penuhi panggilan mereka dengan segera dan disertai wajah yang berseri dan menjawab, “Ya ibu, ya ayah”. Janganlah memanggil dengan, “Ya papa, ya mama”, karena itu panggilan orang asing (orang-orang barat maksudnya –pent.).
8. Muliakan teman serta kerabat mereka ketika kedua orang tuamu masih hidup, begitu pula setelah mereka telah wafat.
9. Janganlah engkau bantah dan engkau salahkan mereka berdua. Santun dan beradablah ketika menjelaskan yang benar kepada mereka.
10. Janganlah berbuat kasar kepada mereka berdua, jangan pula engkau angkat suaramu kepada mereka. Diamlah ketika mereka sedang berbicara, beradablah ketika bersama mereka. Janganlah engkau berteriak kepada salah seorang saudaramu sebagai bentuk penghormatan kepada mereka berdua.
11. Bersegeralah menemui keduanya jika mereka mengunjungimu, dan ciumlah kepala mereka.
12. Bantulah ibumu di rumah. Dan jangan pula engkau menunda membantu pekerjaan ibumu.
13. Janganlah engkau pergi jika mereka berdua tidak mengizinkan meskipun itu untuk perkara yang penting. Apabila kondisinya darurat maka berikanlah alasan ini kepada mereka dan janganlah putus komunikasi dengan mereka.
14. Janganlah masuk menemui mereka tanpa izin terlebih dahulu, apalagi di waktu tidur dan istirahat mereka.
15. Jika engkau kecanduan merokok, maka janganlah merokok di hadapan mereka.
16. Jangan makan dulu sebelum mereka makan, muliakanlah mereka dalam (menyajikan) makanan dan minuman.
17. Janganlah engkau berdusta kepada mereka dan jangan mencela mereka jika mereka mengerjakan perbuatan yang tidak engkau sukai.
18. Jangan engkau utamakan istri dan anakmu di atas mereka. Mintalah keridhaan mereka berdua sebelum melakukan sesuatu karena ridha Allah tergantung ridha orang tua. Begitu juga kemurkaan Allah tergantung kemurkaan mereka berdua.
19. Jangan engkau duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka. Jangan engkau julurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.
20. Jangan engkau menyombongkan kedudukanmu di hadapan bapakmu meskipun engkau seorang pejabat besar. Hati-hati, jangan sampai engkau mengingkari kebaikan-kebaikan mereka berdua atau menyakiti mereka walaupun dengan hanya satu kalimat.
21. Jangan pelit dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tua sampai mereka mengeluh. Ini merupakan aib bagimu. Engkau juga akan melihat ini terjadi pada anakmu. Sebagaimana engkau memperlakukan orang tuamu, begitu pula engkau akan diperlakukan sebagai orang tua.
22. Banyaklah berkunjung kepada kedua orang tua, dan persembahkan hadiah bagi mereka. Berterimakasihlah atas perawatan mereka serta atas kesulitan yang mereka hadapi. Hendaknya engkau mengambil pelajaran dari kesulitanmu serta deritamu ketika mendidik anak-anakmu.
23. Orang yang paling berhak untuk dimuliakan adalah ibumu, kemudian bapakmu. Dan ketahuilah bahwa surga itu di telapak kaki ibu-ibu kalian.
24. Berhati-hati dari durhaka kepada kedua orang tua serta dari kemurkaan mereka. Engkau akan celaka dunia akhirat. Anak-anakmu nanti akan memperlakukanmu sama seperti engkau memperlakukan kedua orangtuamu.
25. Jika engkau meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, mintalah dengan lembut dan berterima kasihlah jika mereka memberikannya. Dan maafkanlah mereka jika mereka tidak memberimu. Janganlah banyak meminta kepada mereka karena hal itu akan memberatkan mereka berdua.
26. Jika engkau mampu mencukupi rezeki mereka maka cukupilah, dan bahagiakanlah kedua orangtuamu.
27. Sesungguhnya orang tuamu punya hak atas dirimu. Begitu pula pasanganmu (suami/istri) memiliki hak atas dirimu. Maka penuhilah haknya masing-masing. Berusahalah untuk menyatukan hak tersebut apabila saling berbenturan. Berikanlah hadiah bagi tiap-tiap pihak secara diam-diam.
28. Jika kedua orang tuamu bermusuhan dengan istrimu maka jadilah engkau sebagai penengah. Dan pahamkan kepada istrimu bahwa engkau berada di pihaknya jika dia benar, namun engkau terpaksa melakukannya karena menginginkan ridha kedua orang tuamu.
29. Jika engkau berselisih dengan kedua orang tuamu di dalam masalah pernikahan atau perceraian, maka hendaknya kalian berhukum kepada syari’at karena syari’atlah sebaik-baiknya pertolongan bagi kalian.
30. Doa kedua orang itu mustajab baik dalam kebaikan maupun doa kejelekan. Maka berhati-hatilah dari doa kejelekan mereka atas dirimu.
31. Beradablah yang baik kepada orang-orang. Siapa yang mencela orang lain maka orang tersebut akan kembali mencelanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya dengan cara dia mencela bapaknya orang lain, maka orang tersebut balas mencela bapaknya. Dia mencela ibu seseorang, maka orang tersebut balas mencela ibunya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
32. Kunjungilah mereka disaat mereka hidup dan ziarahilah ketika mereka telah wafat. Bershadaqahlah atas nama mereka dan banyaklah berdoa bagi mereka berdua dengan mengucapkan,
“Wahai Rabb-ku ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Waha Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah merawatku ketika kecil”. (*)
Diterjemahkan dari Kitab Kaifa Nurabbi Auladana. Silakan dicopy dengan mencantumkan url: http://ulamasunnah.wordpress.com
Sumber : http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/16/32-cara-berbakti-kepada-orangtua/

Hukum Merayakan Ulang Tahun dalam Islam

Penulis: Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin
Merayakan Hari Lahir dan Ulang Tahun

Tanya : Bagaimana hukum yang berkaitan dengan perayaan hari ulang tahun perkawinan dan hari lahir anak-anak ?
Jawaban :
Tidak pernah ada (dalam syar’iat tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Ied (hari Raya) setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawaal yang disebut hari Ied al-Fitr dan hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Ied Al-Adhaa – atau sering disebut hari ‘ Ied Arafah – untuk orang yang berhaji di ‘Arafah dan hari Tasyriq (tanggal ke 11, 12, 13 bulan Dzul-Hijjah) yang merupakan hari ‘Ied yang menyertai hari Iedhul ‘Adhaa.
Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam (Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat. (Syaikh Muhammad Salih Al ‘ Utsaimin)
Sumber :
Al-Bid’u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla Lahu- Halaman 224; Fataawa fadhilatusy-Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin- Jilid 2, Halaman 302.
(Diterjemahkan dari tulisan Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin, url sumber http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0010428_1.htm oleh tim Salafy.or.id)
Sumber : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=442

Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu’?

Penulis : Ustadz Abu Ishaq Muslim

Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi’iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta’lim-ta’lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’. Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(Abdullah di Salatiga)
Jawab:
Masalah batal atau tidaknya wudhu’ seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu’ seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Syaikh Muqbil rahimahullahu ta’ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut :
Beliau ditanya: “Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu’, baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya ataupun selainnya?” Maka beliau menjawab: “Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu’jamnya dari Ma’qal bin Yasar radliyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.
Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.
Mengenai masalah membatalkan wudhu’ atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla :
Atau kalian menyentuh wanita
Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma.
Telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radliyallahu’anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan beliau. Apabila beliau akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’ berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadits Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sampai Allah ‘azza wa jalla turunkan:
Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya :
Berdirilah, kemudian wudhu’ dan shalatlah dua rakaat.
Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu’adz bin Jabal. Ini satu sisi permasalahan. Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak menjadi dalil bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’, karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu’. Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu’, dan engkau telah mengetahui bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan jima’. Wallahul musta’an.

Puasa 6 hari pada Bulan Syawal

Penulis : Redaksi Assalafy.org

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر »
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam pada bulan Syawwal, maka jadilah seperti puasa setahun.”
(HR. Muslim 782, dari shahabat Abu  Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)

Dengan berlalunya Ramadhan, tidak berarti berlalu pula amal ibadah. Justru, di antara tanda seorang berhasil meraih kesuksesan selama bulan Ramadhan adalah tampaknya pengaruh yang terus ia bawa pasca Ramadhan.
Di antara syari’at yang Allah tuntunkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam pasca bulan Ramadhan adalah puasa selama 6 hari pada bulan Syawwal. Puasa ini sebagai kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan. Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan sebulan penuh, kemudian dilanjutkan berpuasa 6 hari dalam bulan Syawwal, maka dia mendapat pahala puasa selama setahun.
Mari kita ikuti berbagai rincian dan pernik hukum terkait puasa 6 hari bulan Syawwal ini bersama dua ‘ulama international terkemuka abad ini, Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam jawaban dan fatwa yang beliau berdua sampaikan menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau berdua :
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah :
Bulan Syawwal semuanya merupakan waktu yang diizinkan untuk berpuasa 6 hari padanya :

Pertanyaan : Bolehkah bagi seseorang memilih hari-hari tertentu pada bulan Syawwal untuk ia  melaksanakan puasa 6 hari. Ataukah puasa tersebut memiliki watu-waktu khusus?dan apakah jika menjalankan puasa tersebut menjadi wajib atasnya?
Jawab : Telah pasti riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka menjadi seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari kitab Ash-Shahih.
6 hari tersebut ditentukan selama satu bulan (Syawwal). Boleh bagi seorang mukmin untuk memilih dari bagian bulan Syawwal tersebut. Jika mau ia boleh berpuasa pada awal bulan, atau pertengahan bulan, atau pada akhirnya. Kalau mau ia boleh berpuasa secara terpisah-pisah, kalau mau boleh ia berpuasa berturut-turut. Jadi sifatnya longgar/bebas, bihamdillahKalau ia bersegera melaksanakannya secara berturut-turut pada awal bulan (Syawwal), maka yang demikian afdhal (lebih utama). Sebab yang demikian termasuk bersegera kepada kebaikan. Dan dengan itu bukan menjadi kewajiban atasnya. Boleh baginya tidak mengerjakannya pada tahun kapanpun. Namun senantiasa melaksanakan puasa Syawwal (setiap tahunnya) adalah afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang pelakunya kontinyu/terus-menerus dalam melaksanakannya meskipun sedikit.” Wallahul Muwaffiq
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/390-391)

Tidak Dipersyaratkan Berturut-turut dalam Melaksakan Puasa 6 Hari Syawwal
Pertanyaan : Apakah dalam melaksanakan puasa 6 hari pada bulan Syawwal harus dikerjakan secara berturut-turut? Ataukah boleh berpuasa secara terpisah-pisah selama bulan Syawwal?
Jawab : Puasa 6 hari Syawwal merupakan sunnah yang pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengerjakannya secara berturut-turut, dan boleh juga terpisah-pisah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenyebutkan puasa 6 hari secara mutlak, tidak menentukan secara beturut-turut ataupun secara terpisah, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Wallahul Muwaffiq (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/391)
Yang Disyari’atkan adalah Mendahulukan Qadha’ (hutang Puasa Ramadhan) sebelum puasa 6 hari Syawwal

Pertanyaan : Apakah boleh berpuasa 6 hari Syawwal sebelum melaksanakan kewajiban mengqadha’ (membayar hutang) puasa Ramadhan?
Jawab : Para ‘ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Pendapat yang benar adalah bahwa yang disyari’at mendahulukan qadha’ sebelum puasa 6 hari Syawwal dan puasa-puasa sunnah lainnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.”Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Barangsiapa yang mendahulukan puasa 6 hari Syawwal sebelum mengqadha` maka dia belum memenuhi syarat mengikutkan puasa 6 hari Syawwal dengan puasa Ramadhan, tapi baru mengikutkannya dengan sebagian puasa Ramadhan.
Dan juga karena puasa qadha` adalah fardhu, sedangkan puasa 6 hari Syawwal adalah tathawwu’ (sunnah/tidak wajib). Yang fardhu lebih berhak untuk dipentingkan dan diperhatikanWabillahit Taufiq.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/392)
Hukum Mengqadha` Puasa 6 hari Syawwal setelah bulan Syawwal berlalu

Pertanyaan : Seorang wanita biasa berpuasa 6 hari Syawwal setiap tahun. Pada suatu tahun dia mengalami nifas karena melahirkan pada awal bulan Ramadhan, dan tidaklah ia suci/selesai dari nifasnya kecuali setelah keluar dari bulan Ramadhan. Kemudian setelah ia suci tersebut, ia melaksanakan Qadha’ puasa Ramadhan. Apakah harus baginya untuk mengqadha’ puasa 6 hari syawwal sebagaimana ia mengqadha’ Ramadhan, meskipun itu sudah di luar bulan Syawwal? Ataukah tidak ada wajib atasnya kecuali qadha` Ramadhan? Dan apakah puasa 6 hari Syawwal tersebut harus dilakukan terus menerus (setiap tahun) ataukah tidak?
Jawab : Puasa 6 hari Syawwal adalah sunnah, bukan fardhu. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak mengapa melakukan puasa 6 hari tersebut secara berturut-turut atau boleh juga secara terpisah-pisah, karena kemutlakan redaksinya.
Dan menyegerakan pelaksanaannya afdhal (lebih utama), berdasarkan firman Allah :
dan aku bersegera kepada-Mu. Wahai Rabb-ku, agar Engkau ridha (kepadaku)”.(Tha-ha : 84)
juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah yang menunjukkan keutamaan berlomba dan bersegera kepada kebaikan.
Dan tidak wajib terus-menerus dalam melaksanakan puasa 6 hari tersebut, namun jika dilaksanakan terus menerus itu lebih utama. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang dilakukan secara terus menerus oleh pelakunya meskipun sedikit.”Muttafaqun  ‘alaihi.
Tidak disyari’atkan mengqadha` puasa 6 hari tersebut jika telah berlalu/lewat bulan Syawwal, karena itu adalah ibadah sunnah yang telah berlalu waktunya. Baik ia meninggalkannya karena udzur atau pun tidak karena udzur (sama-sama tidak ada qadha`).
Wallahu waliyyut Taufiq
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi`ah XV/388-389
* * *
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan : Apakah  ada keutamaan shaum 6 hari Syawwal? Apakah melaksanakannya secara terpisah  atau harus berturut-turut?
Jawab : Ya, ada keutamaan puasa 6 hari Syawwal. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Yakni seperti puasa setahun penuh.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa keutamaan tersebut tidak akan terwujud  kecuali apabila seseorang telah selesai dari melaksanakan puasa Ramadhan seluruhnya. Oleh karena itu, apabila seseorang berkewajiban mengqadha` Ramadhan, maka dia harus melaksanakan puasaqadha’ tersebut lebih dahulu, baru kemudian dia berpuasa 6 hari Syawwal. Kalau dia berpuasa 6 hari Syawwal namun belum mengqadha’ hutang Ramadhan, maka dia tidak memperoleh keutamaan tersebut, baik kita berpendapat dengan pendapat yang menyatakan sahnya puasa sunnah sebelum melakukan qadha` atau kita tidak perpendapat demikian.  Yang demikian karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan … “
Adapun orang yang masih punya kewajiban mengqadha’ (membayar hutang puasa) Ramadhan, maka dia dikatakan ‘berpuasa sebagian Ramadhan, tidak dikatakan berpuasa Ramadhan
Dan boleh melaksanakannya secara terpisah-pisah atau pun secara berturut. Namun berturut-turut lebih utama, karena padanya terdapat sikap bersegera menuju kepada kebaikan, dan tidak terjatuh pada sikap menunda-nunda, yang terkadang menyebabkan tidak melakukan puasa sama sekali.
Pertanyaan : Apakah bisa diperoleh pahala puasa 6 hari Syawwal bagi barangsiapa yang masih memiliki tanggungan qadha’ Ramadhan, namun ia mengerjakan puasa tersebut sebelum melakukan puasa qadha`?
Jawab : Puasa 6 hari Syawwal tidak akan diperoleh  pahala/keutamaanya kecuali jika seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Barangsiapa yang masih memiliki kewajiban mengqadha’ Ramadhan, maka dia jangan berpuasa 6 hari Syawwal kecuali melaksakan puasa qadha’ Ramadhan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan … “
Atas dasar itu, kita katakan kepada orang yang masih punya kewajiban qadha’, “Laksanakan puasa qadha’ terlebih dahullu, kemudian baru lakukan puasa 6 hari Syawwal.”
Bila telah selesai bulan Syawwal sebelum ia sempat berpuasa 6 hari, maka ia tidak bisa memperoleh keutamaan tersebut, kecuali apabila karena udzur.
Bila pelaksanaan puasa 6 hari Syawwal ini bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka dia dia bisa memperoleh dua pahala sekaligus dengan niat mendapatkan pahala puasa 6 hari Syawwal dan pahala puasa Senin – Kamis. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal-amal itu harus dengan niat. Dan bagi masing-masing orang akan mendapat apa yang ia niatkan.”.
Pertanyaan : Apakah boleh seseorang memilih melakukan puasa 6 hari Syawwal, ataukah 6 hari tersebut ada waktu tertentu? Dan apakah jika seorang muslim melaksakana puasa 6 hari tersebut kemudian menjadi kewajiban atasnya dan wajib melaksanakannya setiap tahun?

Jawab : telah sah riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.”Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
6 hari tersebut bukanlah hari-hari tertentu/terbatas dari bulan Syawwal. Namun boleh bagi seorang mukmin untuk memilihnya. Jika mau dia boleh berpuasa pada awal bulan, jika mau boleh  berpuasa pada pertengahan bulan, dan jika mau boleh berpuasa pada akhir bulan, jika mau boleh mengerjakannhya secara terpisah-pisah. Sifatnya longgar, bihamdillah.
Jika dia bersegera mengerjakannya  secara berturut-turut pada awal bulan, maka yang dimikian afdhal (lebih utama) karena termasuk bersegera pada kebaikan. Namun tidak ada kesempitan dalam hal ini, bihamdillah, bahkan sifatnya longgar. Jika mau berturut-turut, jika mau maka boleh terpisah-pisah. Kemudian jika dia mengerjakannya pada sebagian tahun, dan tidak mengerjakannya pada sebagian tahun lainnya, maka tidak mengapa. Karena itu ibadah tathawwu’ (sunnah), bukan ibadah fadhu.
(Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin XX/5-8)

Yakni selain tanggal 1 Syawwal (pentj) Yakni ada satu permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ‘ulama, apakah boleh/sah berpuasa sunnah sebelum mengqadha’Ramadhan. Namun permasalahan puasa 6 hari Syawwal sebelum mengqadha’ Ramadhan ini adalah permasalahan lain di luar permasalahan pertama. Karena masalah puasa 6 hari Syawwal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyarakat harus berpuasa Ramadhan secara penuh terlebih  dahulu. (pentj)
Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=366

10 TERAKHIR RAMADHAN DAN LAILATUL QADAR (Mengenali dan Meraih Keutamaannya)

Oleh : Ust. Abu Ahmad Kadiri & Ust. Abu ‘Amr Ahmad

Segala puji hanya bagi Allah, yang telah menyampaikan kita dipenghujung 10 hari kedua bulan Ramadhan. Sebentar lagi kita akan memasuki 10 ketiga atau terakhir bulan Ramadhan. Hari-hari yang memiliki kelebihan dibanding lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan ini meningkat amaliah ibadah beliau yang tidak beliau lakukan pada hari-hari lainnya.
Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر – أي العشر الأخير من رمضان – شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله . متفق عليه
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya (yakni meningkat amaliah ibadah beliau), menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya.” Muttafaqun ‘alaihi
Keutamaan 10 Terakhir bulan Ramadhan :
Pertama : Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serius dalam melakukan amaliah ibadah lebih banyak dibanding hari-hari lainnya. Keseriusan dan peningkatan ibadah di sini tidak terbatas pada satu jenis ibadah tertentu saja, namun meliputi semua jenis ibadah baik shalat, tilawatul qur`an, dzikir, shadaqah, dll.
Kedua : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan istri-istri beliau agar mereka juga berjaga untuk melakukan shalat, dzikir, dan lainnya. Hal ini karena semangat besar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluarganya juga dapat meraih keuntungan besar pada waktu-waktu utama tersebut. Sesungguhnya itu merupakan ghanimah yang tidak sepantasnya bagi seorang mukmin berakal untuk melewatkannya begitu saja.
Ketiga : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 Terakhir ini, demi beliau memutuskan diri dari berbagai aktivitas keduniaan, untuk beliau konstrasi ibadah dan merasakan lezatnya ibadah tersebut.
Keempat : Pada malam-malam 10 Terakhir inilah sangat besar kemungkinan salah satu di antaranya adalah malam Lailatur Qadar. Suatu malam penuh barakah yang lebih baik daripada seribu bulan.
Keutamaan Lailatul Qadr
Di antara nikmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala terhadap umat Islam, dianugerahkannya kepada mereka satu malam yang mulia dan mempunyai banyak keutamaan. Suatu keutamaan yang tidak pernah didapati pada malam-malam selainnya. Tahukah anda, malam apakah itu? Dia adalah malam “Lailatul Qadr”. Suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah I:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ *
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu? Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Qadr: 1-5)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Bahwasanya (pahala) amalan pada malam yang barakah itu setara dengan pahala amalan yang dikerjakan selama 1000 bulan yang tidak ada padanya Lailatul Qadr. 1000 bulan itu sama dengan 83 tahun lebih. Itulah di antara keutamaan malam yang mulia tersebut. Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk meraihnya, dan beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمُ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr atas dorongan iman dan mengharap balasan (dari Allah), diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”.(H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)
Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala beritakan bahwa pada malam tersebut para malaikat dan malaikat Jibril turun. Hal ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut, karena tidaklah para malaikat itu turun kecuali karena perkara yang besar. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mensifati malam tersebut dengan firman-Nya:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar
Allah subhanahu wa ta’ala mensifati bahwa di malam itu penuh kesejahteraan, dan ini merupakan bukti tentang kemuliaan, kebaikan, dan barakahnya. Barangsiapa terhalangi dari kebaikan yang ada padanya, maka ia telah terhalangi dari kebaikan yang besar”. (Fatawa Ramadhan, hal. 848)
Wahai hamba-hamba Allah, adakah hati yang tergugah untuk menghidupkan malam tersebut dengan ibadah …?!, adakah hati yang terketuk untuk meraih malam yang lebih baik dari 1000 bulan ini …?! Betapa meruginya orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan perbuatan yang sia-sia, apalagi dengan kemaksiatan kepada Allah.
Mengapa Disebut Malam “Lailatul Qadr”?
Para ulama menyebutkan beberapa sebab penamaan Lailatul Qadr, di antaranya:
1. Pada malam tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan secara rinci takdir segala sesuatu selama 1 tahun (dari Lailatul Qadr tahun tersebut hinggaLailatul Qadr tahun yang akan datang), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ * [الدخان/3، 4]
“Sesungguhnya Kami telah menurukan Al-Qur`an pada malam penuh barakah (yakni Lailatul Qadr). Pada malam itu dirinci segala urusan (takdir) yang penuh hikmah”. (Ad Dukhan: 4)
2. Karena besarnya kedudukan dan kemuliaan malam tersebut di sisi Allahsubhanahu wa ta’ala.
3. Ketaatan pada malam tersebut mempunyai kedudukan yang besar dan pahala yang banyak lagi mengalir. (Tafsir Ath-Thabari IV/200)
Kapan Terjadinya Lailatul Qadr?
Malam “Lailatul Qadr” terjadi pada bulan Ramadhan.
Pada tanggal berapakah? Dia terjadi pada salah satu dari malam-malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (H.R Al Bukhari no. 1878)
Lailatul Qadr terjadi pada setiap tahun. Ia berpindah-pindah di antara malam-malam ganjil 10 hari terakhir (bulan Ramadhan) tersebut sesuai dengan kehendak Allah Yang  Maha Kuasa.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Lailatul Qadr itu (dapat) berpindah-pindah. Terkadang terjadi pada malam ke-27, dan terkadang terjadi pada malam selainnya, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits yang banyak jumlahnya tentang masalah ini. Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bahwa beliau pada suatu tahun diperlihatkan Lailatul Qadr, dan ternyata ia terjadi pada malam ke-21″. (Fatawa Ramadhan, hal.855)
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’udrahimahumallahu berkata: “Adapun pengkhususan (memastikan) malam tertentu dari bulan Ramadhan sebagai Lailatul Qadr, maka butuh terhadap dalil. Akan tetapi pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir Ramadhan itulah dimungkinkan terjadinya Lailatul Qadr, dan lebih dimungkinkan lagi terjadi pada malam ke-27 karena telah ada hadits-hadits yang menunjukkannya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan t:
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ إِذَا قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya apabila beliau menjelaskan tentang Lailatul Qadr maka beliau mengatakan : “(Dia adalah) Malam ke-27″.(H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahih Al-Musnad)
Kemungkinan paling besar adalah pada malam ke-27 Ramadhan. Hal ini didukung penegasan shahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu :
عن أبي بن كعب قال : قال أبي في ليلة القدر : والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadr) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)
Tanda-tanda Lailatul Qadr
Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak menyilaukan, seperti halnya bejana (yang terbuat dari kuningan). (H.R Muslim)
Lailatul Qadr adalah malam yang tenang dan sejuk (tidak panas dan tidak dingin) serta sinar matahari di pagi harinya tidak menyilaukan. (H.R Ibnu Khuzaimah dan Al Bazzar)
Dengan Apakah Menghidupkan 10 Terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadr?
Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz dan Asy Syaikh Abdullah bin Qu’udrahimahumallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh beribadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk mengerjakan shalat (malam), membaca Al-Qur’an, dan berdo’a daripada malam-malam selainnya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)
Demikianlah hendaknya seorang muslim/muslimah … Menghidupkan malam-malamnya pada 10 Terakhir di bulan Ramadhan dengan meningkatkan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala; shalat tarawih dengan penuh iman dan harapan pahala dari Allah I semata, membaca Al-Qur’an dengan berusaha memahami maknanya, membaca buku-buku yang bermanfaat, dan bersungguh-sungguh dalam berdo’a serta memperbanyak dzikrullah.
Di antara bacaan do’a atau dzikir yang paling afdhal untuk dibaca pada malam (yang diperkirakan sebagai Lailatul Qadr) adalah sebagaimana yang ditanyakanUmmul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah jika aku mendapati Lailatul Qadr, do’a apakah yang aku baca pada malam tersebut?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bacalah:
اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi Maaf, Engkau suka pemberian maaf, maka maafkanlah aku”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Maka hendaknya pada malam tersebut memperbanyak do’a, dzikir, dan istighfar.
Apakah pahala Lailatul Qadr dapat diraih oleh seseorang yang tidak mengetahuinya?
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: Bahwa pahala tersebut khusus bagi yang mengetahuinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah riwayat yang terdapat pada Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh:
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”
{kalimat  فيوافقها di sini diartikan: mengetahuinya (bahwa itu Lailatul Qadr), pen-}
Menurut pandanganku pendapat inilah yang benar, walaupun aku tidak mengingkari adanya pahala yang tercurahkan kepada seseorang yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam rangka mencari Lailatul Qadr dalam keadaan ia tidak mengetahui bahwa itu adalah malam Lailatul Qadr”.
Pendapat Kedua: Didapatkannya pahala (yang dijanjikan) tersebut walaupun dalam keadaan tidak mengetahuinya. Ini merupakan pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab, Ibnul ‘Arabi, dan sejumlah dari ulama.
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya Asy-Syarhul Mumti’:
“Adapun pendapat sebagian ulama bahwa tidak didapatinya pahala Lailatul Qadr kecuali bagi yang mengetahuinya, maka itu adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam keadaan iman dan mengharap balasan dari Allah I, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)
Rasulullah tidak mengatakan: “Dalam keadaan mengetahui Lailatul Qadr”. Jika hal itu merupakan syarat untuk mendapatkan pahala tersebut, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pada umatnya. Adapun pendalilan mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”
Maka makna فيوافقها di sini adalah: bertepatan dengan terjadinya Lailatul Qadr tersebut, walaupun ia tidak mengetahuinya”.
Semoga anugerah Lailatul Qadr ini dapat kita raih bersama, sehingga mendapatkan keutamaan pahala yang setara (bahkan) melebihi amalan 1000 bulan. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wanita Hamil dan Menyusui Tetap Berpuasa

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Assalamualaikum…
Terdapat perbedaan ulama hukum untuk wanita hamil dan menyusui yang tidak meninggalkan puasa, mohon petunjuk mana pendapat yang palin kuat (berdasarkan dalil yang shohih)
Terima kasih
Wassalam
WG
Al Fatah ….. @yahoo.co.id
Jawab :
(dijawab oleh Abu  ‘Amr Ahmad)
Al-Lajnah Ad-Da`imah menyatakan dalam salah satu fatwanya sebagai berikut :
Wajib bagi yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan karena nifas untuk mengqadha’ puasa sebanyak hari
yang ia tinggalkan. Adapun wanita hamil wajib atasnya berpuasa. Kecuali kalau dia khawatir terhadap dirinya atau janin jika dia berpuasa, maka dalam demikian dia diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa, dan wajib baginya untuk mengqadha’ setelah dia melahirkan dan suci dari nifasnya.  … “
(fatwa no. 12.591. ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bazrahimahullah, Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan )
Dan banyak para ‘ulama yang menyebutkan bahwa wanita hamil dan menyusuitermasuk salah satu pihak yang diberi rukhshah untuk tidak berpuasa, dengan beberapa persyaratan.
Sepanjang pengetahuan kami, perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama adalah jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa, apakah wajib atasnya mengqadha’ ataukah cukup baginya membayar fidyah saja.
Adapun jika wanita hamil dan menyusui berpuasa maka puasanya sah, karena tidak berpuasa baginya merupakan rukhshah. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama dalam masalah ini. Wallahu a’lam bish shawab.

Menunda Pembayaran Hutang Puasa

Oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
(Hukum menunda pembayaran puasa hingga tiba ramadhan tahun berikutnya)

Pertanyaan :
Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?
Jawab :
Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur`anul Karim :
(( فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ , وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ))
“Barangsiapa diantara kalian yang mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari yang lain.”Al Baqorah : 185.
Sehingga seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika ada alasan syar’i, kemudian ia berkewajiban untuk menggantinya pada hari-hari lain, serta tidak menundanya sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, dengan dasar ucapan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha (istri Rasulullah), ia berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ .
Dahulu kami memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya (yakni terus tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Sya’ban berikutnya). (HR. Al-Bukhari, Bab Kapan Menunaikan Qodho’ Puasa, no.1950)
‘Aisyah Radhiyallah ‘anha tidak sempat mengqodho’ puasanya hingga tiba bulan Sya’ban (berikutnya) karena keadaan beliau di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .
Adapun perkataan Aisyah : “dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya kecuali setelah sampai bulan Sya’ban”, adalah dalil wajibnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.
Namun apabila qodho’nya diakhirkan/ditunda-tunda hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya maka ia berkewajiban untuk beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, serta menyesal dan mencela perbuatannya menunda-nunda qodho’ puasa. Namun ia tetap berkewajiban mengqodho’ puasanya yang ia tinggalkan, karena kewajiban mengqodho’ tidak gugur dengan sebab diakhirkan/ditunda. Maka ia tetap wajib menggantinya walaupun setelah bulan Ramadhan tahun berikutnya,Wallahul  Muwaffiq.
Fatawa Arkanul Islam oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, halaman 489, pertanyaan yang ke – 439.

Nasehat Ulama dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Oleh: Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz Rahimahullahu ta’ala

Beliau rahimahullah pernah ditanya:
Samahatusy Syaikh, apa nasehat anda kepada kaum muslimin dan kita semua, dalam rangka menyambut datangnya bulan (Ramadhan) yang memiliki keutamaan ini?
Beliau menjawab:
Nasehatku kepada seluruh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan adalah hendaklah mereka bertakwa kepada Allah jalla wa’ala, dan hendaklah mereka bertaubat dari semua perbuatan dosa yang telah lalu dengan taubat yang benar, serta hendaklah mereka memahami agama ini dengan baik dan mempelajari hukum-hukum tentang masalah puasa dan juga hukum-hukum yang berkaitan dengan amalan pada bulan ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, maka ia akan difahamkan dalam masalah agama.” [Muttafaqun ‘alaihi][1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
إذا دخل رمضان فتحت أبواب الجنة، وغلقت أبواب النار، وسلسلت الشياطين
“Apabila telah memasuki bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al Jannah, ditutuplah pintu-pintu An Naar dan para syaithan dibelenggu.”[Muttafaqun ‘alaihi][2]
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
إذا كان أول ليلة من رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبواب جهنم وصفدت الشياطين ويناد منادٍ: يا باغي الخير أقبل، ويا باغي الشر أقصر، ولله عتقاء من النار وذلك في كل ليلة
“Apabila memasuki awal malam di bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu Al Jannah, ditutuplah pintu-pintu Jahannam dan para syaithan dibelenggu. Kemudian berserulah seorang penyeru : ‘Wahai para pencari kebaikan, sambutlah kebaikan tersebut dan wahai para pelaku kejelekan, kurangilah kejelekan tersebut. Bahwasanya Allah akan membebaskan para penghuni An Naar pada setiap malam.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah][3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menyampaikan kepada para shahabat:
أتاكم شهر رمضان شهر بركة يغشاكم الله فيه فينزل الرحمة ويحط الخطايا ويستجيب الدعاء فأروا الله من أنفسكم خيراً فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah, Allah akan datangkan kepada kalian di dalamnya yaitu turunnya rahmat dan berkurangnya kejahatan-kejahatan serta dikabulkannya do’a, maka bergegaslah menuju amal-amal kebaikan, dan bersegeralah kepada ketaatan serta menjauhlah dari amal-amal kejelekan, karena sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan rahmat Allah padanya.”[4]
Dan makna dari:
أروا الله من أنفسكم خيراً
adalah “Bergegaslah menuju amal-amal kebaikan, dan bersegeralah kepada ketaatan serta menjauhlah dari amal-amal kejelekan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من صام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharap pahala, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan shalat (tarawih) di bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menegakkan malam Lailatul Qadr[5] dalam keadaan iman dan mengharap pahala, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[6]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah jalla wa’ala berfirman:
كل عمل ابن آدم له الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به، ترك شهوته وطعامه وشرابه من اجلي للصائم فرحتان فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه، ولخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك
“Setiap amalan anak Adam, balasan kebaikannya adalah sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa ada 2 kegembiraan yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya. Dan bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih wangi daripada bau misik di sisi Allah.” [HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah][7]
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا كان يوم صوم أحدكم، فلا يرفث ولا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله فليقل إني امرؤ صائم
“Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata-kata kotor, keji, dan berteriak-teriak. Maka apabila dia diejek atau diperangi maka katakanlah: aku adalah seorang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari][8]
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya serta perbuatan kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan usahanya dalam meninggalkan makan dan minum.” [HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih][9]
Maka wasiat kepada seluruh kaum muslimin adalah hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, hendaklah mereka menjaga puasa yang akan mereka lakukan, hendaklah mereka membentengi puasa tersebut dari segala perbuatan maksiat, dan disyari’atkan bagi mereka pada bulan tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan amalan-amalan kebaikan dan berlomba-lomba dalam ketaatan seperti memberikan shadaqah, memperbanyak membaca Al-Qur’an, bertasbih, bertahlil, bertahmid, bertakbir dan beristighfar, karena ini adalah bulan Al-Qur’an:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” [Al-Baqarah: 185]
Sehingga disyari’atkan bagi kaum mu’minin untuk bersungguh-sungguh dalam membaca Al-Qur’an. Disunnahkan bagi kaum laki-laki dan wanita juga untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, baik siang maupun malam. Setiap satu huruf dibalas dengan satu kebaikan, dan setiap kebaikan akan dilipatgandakan sampai sepuluh kali lipat, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Itu semua diiringi dengan menjauhkan diri dari segala kejelekan dan perbuatan maksiat, saling menasehati dalam kebenaran serta memerintahkan kepada perkara yang baik dan melarang dari perkara yang munkar.
Inilah bulan yang agung. Dalam bulan tersebut balasan terhadap amalan-amalan shalih akan dilipatgandakan, dan amalan-amalan jelek yang dilakukan pada bulan tersebut akan mendapatkan balasan kejelekan yang besar pula. Maka wajib atas setiap mu’min untuk bersungguh-sungguh dalam menunaikan amalan yang telah Allah wajibkan atasnya dan hendaknya ia menjauhkan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.
Hendaklah di bulan Ramadhan tersebut, seseorang memberikan perhatian yang lebih besar dan lebih banyak (dibanding bulan yang lain), sebagaimanan disyari’atkan baginya untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan amalan-amalan kebaikan seperti shadaqah, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, menyambung tali silaturahmi, banyak membaca Al-Qur’an, banyak berdzikir, bertasbih, bertahlil, beristighfar, berdo’a dan amalan-amalan kebaikan yang lain. Ini semua dilakukan dalam rangka mengharap pahala dari Allah dan takut dari hukuman-Nya.
Kita memohon kepada Allah agar memberi taufiq-Nya kepada kaum muslimin pada perkara-perkara yang diridhai-Nya. Kita juga memohon agar Allah menyampaikan puasa dan shalat kita serta puasa dan shalat segenap kaum muslimin pada derajat keimanan dan mengharap pahala dari Allah. Dan kita juga memohon agar Allah ta’ala menganugerahkan kepada kita dan seluruh kaum muslimin di berbagai tempat pemahaman terhadap agama ini dan istiqamah di atasnya. Kita juga memohon kepada Allah keselamatan dari sebab-sebab yang dapat mendatangkan murka Allah dan hukuman-Nya, sebagaimana aku juga memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq kepada para penguasa kaum muslimin dan para pemimpin mereka, agar Allah memberikan hidayah kepada mereka dan memperbaiki keadaan-keadaan mereka, dan agar Allah memberi taufiq kepada mereka untuk berhukum dengan syari’at Allah dalam seluruh urusan mereka seperti ibadah mereka, tugas-tugas mereka dan seluruh bidang-bidang urusan mereka. Sekali lagi kita memohon agar Allah ta’ala memberi taufiq kepada mereka dalam hal-hal tersebut. Ini semua dalam rangka merealisasikan firman Allah jalla wa’ala berikut:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah.” [Al-Maidah: 49]
Dan juga firman-Nya subhanahu wata’ala:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maidah: 50]
Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisa’: 65]
Dan juga firman-Nya subhanahu wata’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta Ulil Amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa’: 59]
Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Katakanlah: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya.” [An-Nur: 54]
Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]
Inilah yang wajib atas seluruh kaum muslimin dan para pemimpin mereka. Wajib atas para pemimpin kaum muslimin dan ulama mereka serta kalangan awamnya untuk bertaqwa kepada Allah dan ta’at terhadap syari’at Allah. Hendaklah mereka menjadikan syari’at Allah ini sebagai pemutus perkara (hakim) di antara mereka, karena berhukum dengan syari’at Allah akan membuahkan kebaikan, hidayah, kesudahan yang terpuji, keridhaan Allah dan akan meraih kebenaran yang telah Allah syari’atkan, dengan berhukum terhadap syari’at Allah, juga akan terhindarkan dari tindak kezhaliman.
Kita memohon kepada Allah taufiq, hidayah, lurusnya niat dan baiknya amalan untuk seluruh kaum muslimin.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه.
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah Asy-Syaikh Ibn Bazrahimahullah, juz 15]
Sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380207
Diterjemahkan oleh Muhammad Rifqi.
[1] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Al-’Ilmu” bab “Man Yuridillahu bihi Khairan Yufaqqihhu fiddin” no. 71 dan Muslim dalam kitab “Az-Zakat” bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah” no. 1037.
[2] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Bad’ul Khalqi” bab “Shifat Iblis wa Junudihi ” no. 3277 dan Muslim dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Fadhlu Syahr Ramadhan” no. 1079.
[3] HR. At-Tirmidzi dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Maa Ja’a fi Fadhli Syahri Ramadhan no. 682 dan Ibnu Majah dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Maa Ja’a fi Fadhli Syahri Ramadhan” no. 1642.
[4] Disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam At-Targhib Wat Tarhib bab “At-Targhib fi Shiyami Ramadhan” no. 1490, dan dia mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani.
[5] Maksudnya adalah shalat, dan termasuk pula adalah amal ketaatan yang lain seperti membaca Al-Qur’an, dzikir, tasbih, tahlil, tahmid, istighfar, berdo’a, dan amalan yang lain (pent).
[6] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Man Shaama Ramadhana Imanan wa Ihtisaban” no. 1901 dan Muslim dalam kitab “Shalat Al-Musafirin wa Qashriha” bab “At-Targhib fi Shiyami Ramadhan” no. 760.
[7] HR. Al-Bukhari dalam kitab “At-Tauhid” bab “Qaulullahi Ta’ala: Yuriiduuna an yubaddiluu kalaamallaah no. 7492 dan Muslim dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Fadhlu Ash-Shiyam” no. 1151 serta Ibnu Majah dalam kitab “Ash-Shiyam” bab “Maa Ja’a fi Fadhli Ash-Shiyam” no. 1638.
[8] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Hal Yaquulu Inni Sha’im idza Syutima” no. 1904.
[9] HR. Al-Bukhari dalam kitab “Ash-Shaum” bab “Man lam Yada’ Qaul Az-Zuur” no. 1903.
Sumber : www.assalafy.org/mahad/?p=528#more-528

Tidak Sama Lelaki dengan Wanita

Penulis: Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan

Secara fitrah, wanita jelas berbeda dengan pria. Namun dengan mengatasnamakan “hak wanita”, sejumlah pihak nyaring mengampanyekan kesetaraan pria dan wanita. Tatanan yang telah selaras fitrah pun hendak dikoyak, yang sejatinya kehormatan wanitalah yang tengah mereka rusak. Padahal telah diketahui, kerusakan wanita berimbas pada kerusakan masyarakatnya.
Betapa nikmatnya mendulang ilmu dari pewaris para nabi. Walaupun hasrat untuk duduk bersimpuh di majelis mereka yang penuh berkah belum jua terpenuhi, namun ilmu mereka, walhamdulillah, dapat kita peroleh lewat tulisan-tulisan mereka dan rekaman suara mereka yang tersebar luas sampai ke nusantara ini. Sungguh dari penyampaian mereka, ahlul ilmi ulama rabbani, kita dapati kecukupan daripada harus menyusun sendiri dengan kalam kita. Satu dari alim rabbani tersebut, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga beliau dan mengokohkan beliau di atas agama-Nya– pernah menyampaikan khutbah yang berisi bantahan terhadap orang yang ingin menyejajarkan kaum wanita dengan kaum lelaki.
Sungguh, permasalahan ini tidak akan pernah basi untuk disampaikan kepada umat. Terlebih di zaman ini, di mana orang-orang yang tidak berakal dan bodoh berteriak-teriak menuntut persamaan gender, padahal ini sesuatu yang mustahil. Bahkan Al-Qur’anul Karim sebagai pedoman hidup kita telah menegaskan:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan tidaklah lelaki itu sama dengan wanita….” (Ali ‘Imran: 36)
Asy-Syaikh yang mulia –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga beliau– berkata dalam khutbahnya:
“Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan sepasang insan, lelaki dan wanita, dari setetes mani yang dipancarkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala bedakan keduanya dalam penciptaan, maka lelaki tidak mungkin sama dengan wanita. Aku menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat-Nya yang tiada terhitung. Aku bersaksi bahwa laa ilaaha illallah wahdahu, tiada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah-Nya, uluhiyah, dan nama-nama-Nya yang husna. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala perjalankan beliau pada malam hari, dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha, untuk memperlihatkan kepada beliau tanda-tanda kekuasaan-Nya yang sangat besar. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk beliau, keluarga dan para sahabat beliau.
Amma ba’du.
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia ciptakan pasangannya. Dan dari keduanya, Allah mengembangbiakkan lelaki dan wanita yang banyak. Bertakwalah kalian kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’: 1)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Terimalah wasiat untuk berbuat kebaikan terhadap para wanita.”1
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada fitnah (ujian) wanita.”2
Bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, wahai kaum muslimin, dalam urusan wanita-wanita kalian. Laksanakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan wasiat Nabi-Nya dalam perkara mereka. Jagalah mereka dengan menutupi mereka, karena sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kalian sebagai pemimpin atas mereka. Wanita itu kurang dari sisi fisiknya dibanding lelaki dan secara tabiat mereka lemah, sehingga mereka butuh pemimpin yang dapat membimbing mereka. Akal yang lurus yang bisa mengetahui hikmah dan rahasia-rahasia akan memutuskan bahwa makhluk yang kurang fisiknya lagi lemah tabiatnya harus berada di bawah pengaturan makhluk yang sempurna fisiknya dan kuat dalam tabiat. Dengan begitu, yang kurang lagi lemah tadi dapat beroleh manfaat yang semula tak dapat diperolehnya dengan sendirinya dan mudarat pun dapat terhindarkan. Lelaki diharuskan memberikan infak kepada para wanitanya, disamping mengurusi keperluan mereka dalam kehidupan ini. Sehingga si wanita dapat terjaga dalam rumahnya, mencurahkan waktunya untuk mendidik anak-anaknya serta mengatur urusan rumahnya.
Masing-masing dari lelaki dan wanita memiliki lingkup pekerjaan yang sesuai dengan fisik mereka. Lelaki bekerja di luar rumah sementara wanita memiliki tugas di dalam rumah. Dengan seperti ini, akan sempurnalah kerjasama di antara mereka dalam kehidupan ini.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membedakan fisik lelaki dan wanita, di mana masing-masingnya memiliki fisik yang sesuai dan cocok dengan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, maka datang larangan yang tegas dari perbuatan tasyabbuh (meniru/menyerupai) salah satunya terhadap yang lain. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْمُتَشَبِّهيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجاَلِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
Sementara dimaklumi bahwa orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti ia terlaknat dalam Kitabullah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka berhentilah. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat pedih hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Oleh karena itu, tidak boleh lelaki menyerupai wanita dalam perkara yang merupakan kekhususan wanita. Demikian pula sebaliknya. Lelaki yang meniru wanita dalam sifat dan kelembutannya, serta wanita yang menyerupai lelaki dalam pekerjaannya, berarti masing-masingnya telah berupaya mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan masing-masingnya terlaknat lewat lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dilaknat dalam Kitabullah.
وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
“Siapa yang dilaknat oleh Allah maka kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan penolong baginya.” (An-Nisa’: 52)
Wahai kaum muslimin! Pada hari ini, di kalangan kita ada suatu kaum yang mereka itu dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita. Mereka menyerukan persamaan wanita dengan lelaki dalam hal pekerjaan agar wanita duduk bersisian dengan lelaki di kantor dan tempat niaga. Agar wanita berserikat dengan kaum lelaki dalam mendirikan organisasi-organisasi dan muktamar-muktamar. Agar wanita tampil di depan kaum lelaki guna menyampaikan ceramah-ceramah. Terus-menerus di surat kabar kita pada hari ini, kita baca seruan yang berulang-ulang yang terlontar dari mulut-mulut sial lagi beracun, yang ditulis oleh tangan-tangan yang jahat, yang ingin meruntuhkan kemuliaan dan kehormatan wanita serta membuang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya yang ingin menjaga kaum wanita. Sungguh suara-suara yang jelek dan propaganda yang beracun itu menginginkan agar wanita muslimah sama dengan wanita kafir, yang biasa keluar untuk bekerja bersisian bersama lelaki ajnabi (non-mahram) dalam keadaan si wanita terbuka kepala dan wajahnya, tersingkap dua betisnya, dan dua lengan bawahnya. Bahkan lebih jauh dari itu, terbuka dua pahanya dan lengan atasnya.
Mereka ini meneriakkan ucapan, “Separuh dari masyarakat ini menganggur. Kami menginginkan agar semua individu masyarakat ini bekerja.”
Dengan ucapan di atas seakan-akan mereka memberikan gambaran bahwa wanita dalam masyarakat Islam terhitung barang yang tidak bernilai atau kayu yang disandarkan tanpa ada manfaatnya. Mata mereka buta untuk memandang bahwa tugas yang diemban wanita dalam rumahnya adalah pekerjaan yang mulia, sesuai dengan fisiknya serta selaras dengan tabiatnya. Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya menjadikan wanita dengan sifatnya yang khusus pantas atau sesuai untuk ikut andil dalam membangun masyarakat manusia dengan menunaikan suatu pekerjaan/tugas yang tidak dapat diemban oleh selain wanita, seperti mengandung, melahirkan dan menyusui, mendidik anak, mengurusi rumah serta menunaikan tugas-tugas rumah tangga berupa memasak, menyapu, dan sebagainya.
Pengabdian wanita di dalam rumahnya ini dilakukan dalam keadaan si wanita tertutup dari pandangan yang tidak halal untuk memandangnya. Ia terjaga dan memiliki iffah (kehormatan diri). Ia terjaga di atas kemuliaan, keutamaan, dan nilai kemanusiaan. Pengabdian ini tidak bisa dianggap kecil bila dibandingkan dengan pengabdiaan kaum lelaki dalam mencari penghidupan. Seandainya seorang wanita sampai keluar dari rumahnya guna berserikat dengan kaum lelaki dalam pekerjaan –sebagaimana tuntutan mereka itu– niscaya akan telantarlah tugas-tugasnya di rumah. Akibatnya, masyarakat manusia pun menuai kerugian yang amat besar.
Bergabungnya wanita di medan lelaki akan berdampak kerusakan, karena wanita akan menjadi pajangan bagi mata-mata khianat dan tangan-tangan yang merusak. Jadilah ia sebagai hidangan yang terbuka di hadapan para pengkhianat3 yang memiliki hati berpenyakit. Apakah mungkin seorang lelaki yang memiliki sedikit saja dari sifat kejantanan –terlebih lagi bila memiliki iman– akan ridha membiarkan putrinya, istrinya, atau saudara perempuannya, menjadi santapan lezat bagi mata-mata orang fasik dan barang jamahan bagi tangan-tangan pengkhianat?
Apakah tidak cukup sebagai peringatan, musibah yang telah menimpa masyarakat-masyarakat yang melepaskan diri dari bimbingan Islam, di mana mereka terjerembab dalam lembah kehinaan? Ketika mereka membiarkan wanita mereka yang semula terjaga di dalam rumah untuk keluar dari ‘istana’ nya dalam keadaan ber-tabarruj, mempertontonkan tubuh yang ‘telanjang’4, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mencabut dari kaum lelakinya sifat rujulah/kejantanan dan ghirah/kecemburuan terhadap wanita-wanita mereka. Akibatnya, jadilah masyarakat tersebut tak beda dengan masyarakat binatang.
Orang-orang bodoh yang menyerukan propaganda jahiliah tersebut harus dicekal tangannya, dibungkam suaranya, serta dipatahkan penanya. Karena, kita –alhamdulillah– di atas bashirah (ilmu yang jelas) dari perkara kita dan di atas ketsiqahan (keteguhan) terhadap agama kita. Tiada samar bagi kita propaganda orang-orang yang sesat dan hawa nafsu orang-orang yang punya ambisi tertentu. Pengalaman orang lain merupakan sebaik-baik pelajaran bagi kita.
Wahai segenap muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang menciptakan alam ini dan mengatur segenap urusannya. Dia mengetahui perkara-perkara yang samar/tersembunyi, dan mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan pagar-pagar yang kokoh dalam kitab-Nya yang mulia untuk melindungi kaum muslimin dan menjaga wanita-wanita mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan dari melihat apa yang tidak halal dilihat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada kaum mukminin, “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada kaum mukminat, “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka…” (An-Nur: 30-31)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang wanita menghentakkan kakinya yang memakai gelang kaki untuk memperdengarkan suara gelang kakinya kepada para lelaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berirman:
ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹﯺ
“Dan janganlah mereka (para wanita beriman) menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (An-Nur: 31)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kaum wanita melembutkan suaranya ketika berbicara dengan lelaki ajnabi, agar jangan sampai orang-orang jahat berkeinginan jelek terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang wanita melakukan safar kecuali bila ditemani mahramnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga melarang lelaki berdua-duaan dengan wanita ajnabiyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang para wanita mempertontonkan perhiasannya kepada lelaki yang tidak berhak melihatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan shalat wanita di rumahnya lebih utama dibanding shalatnya di masjid. Semua ini dalam rangka menjaga dan memelihara wanita serta membersihkan masyarakat Islam dari akhlak yang rusak.
Apabila umat ini berpegang dengan pengajaran dan bimbingan ilahiyah, niscaya mereka akan sukses dalam membangun masyarakat yang kuat, berpegang dengan perintah agama sekaligus bersih dari perkara yang tidak pantas. Sebaliknya, bila umat ini melepaskan diri/tidak peduli dengan pengajaran dan bimbingan ilahiyah, niscaya mereka akan jatuh dalam lembah kehinaan, hilang kehormatan/kemuliaan mereka, dan hilang pula kedudukan mereka di kalangan umat-umat yang lain.
Sungguh, orang-orang bodoh yang menulis makalah-makalah beracun yang menyerukan agar wanita melepaskan diri dari kedudukan yang diberikan Islam, berarti telah mengupayakan penghancuran masyarakat mereka. Telah mendahului mereka dengan seruan busuk ini, suatu kaum yang akhir kesudahannya adalah penyesalan. Kelak, mereka yang belakangan ini akan menemui kesudahan yang sama.
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
“Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (Asy-Syu’ara: 227)
Dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan terus ada kaum muslimin yang berpegang dengan pengajaran agama mereka. Orang-orang yang menghinakan dan menyelisihi mereka tidak akan memudaratkan mereka, hingga kelak datang perkara Allah Subhanahu wa Ta’ala sementara mereka dalam keadaan demikian. Sebagaimana hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar lagi dibenarkan.
Juga sebagaimana dalam pepatah:
لَنْ يَضُرَّ السَّحَابَ نَبْحُ الْكِلَابِ
“Awan tidak akan termudaratkan dengan lolongan anjing.”
Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya, agar Dia menjaga pemimpin kaum muslimin dan menolong agama-Nya dengan pimpinan tersebut. (Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-’Ashriyyah, 1/398-402)
1 HR. At-Tirmidzi no. 1173, dihasankan Al-Imam Al-Albani, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkan beliau dalam negeri karamah-Nya, dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
2 HR. Al-Bukhari dan Muslim. 3 Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mata yang suka memandang apa yang tidak halal baginya sebagai mata yang khianat, sebagaimana dalam ayat:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia (Allah) mengetahui pandangan mata-mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh dada-dada.” (Ghafir: 19)
4 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْناَبِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ …
“Ada dua golongan penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat mereka, (yang pertama) suatu kaum yang memiliki cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi, dengan cambuk tersebut mereka memukul manusia. (Yang kedua) para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang…” (HR. Muslim)
Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=823